Kalsel,Onewsmedia,kisah Seorang importir alat-alat peraga pendidikan, setiap mengurus izin pengeluaran barang dari pelabuhan, kerap dibenturkan dengan *”wajib setor dana pelicin”*. Jika tidak mengikuti prosedur ini, ia sering telat melayani customernya.
*”Jadi, berapa biaya ngurus dokumen izin mengeluarkan barang kami dari pelabuhan pak …?”*terlontar dari seorang importir tersebut.
“Ya tergantung… Mau paket cepat atau lama..!” Kata oknum petugas
Dalam kasus lain, jadwal pembangunan wilayah-wilayah terpencil misalnya, sering bukan hanya kecil anggarannya, tetapi juga kerap terlambat pelaksanaannya. Usut punya usut, konon penyebabnya, mediator daerah (kepala daerah), ternyata kurang faham dengan *”tradisi pusat”*. “Sajennya harusnya ditambah pak, biar lancar anggarannya..! Itu guyonan yang biasa berseliweran di kalangan wakil rakyat dan calo anggaran
Cerita imajiner di atas, seperti menggambarkan potret yang sesungguhnya terjadi dalam tradisi birokrasi negeri kita. Bukan hanya soal sulitnya pengurusan dokumen perizinan jika dengan biaya resmi. Tapi juga soal ketimpangan pembangunan daerah. Penyebabnya apalagi kalau bukan soal “uang pelicin”.tradisi ini sulit terbendung selama hukum masih bisa diperjual belikan di Negeri ini dan hukum tidak bisa tegak lurus sesui cita cita Reformasi ujar Ketua KPK Tipikor Kalimantan Selatan ini.
Watak dan mental *”dengan uang semua bisa diatur..”* nyaris telah mendarah daging dalam kalangan birokrat, aparatur negara sipil maupun non sipil semua bisa ditransaksikan tanpa ada rasa takut sedikitpun karena semua ada keterkaitan antara atasan dan bawahan,sehingga gaji yang dinaikan berlipat lipat oleh Pemerintah tiada artinya,kurang dan kurang itulah sifat manusia.
Mental pragmatis, yang melahirkan tradisi transaksionalis dalam seluruh aspek kehidupan ini, seperti penyakit parah yang sudah menjangkiti nyaris seluruh masyarakat kita. Kondisi inilah yang oleh para pengusaha dan politisi jahat, menjadi lahan empuk kejahatan mereka.
Mental pragmatis adalah mental instan. Ingin cepat dapat keuntungan duniawi, walau itu hanya bersifat kenikmatan sesaat. Mental selalu ingin bisa menikmati keuntungan besar tanpa proses kerja keras.
Maka lahirlah dari mental pragmatis ini, fantasi liar yang melambungkan angan-angan seseorang bisa mengeruk untung besar di luar gaji resmi.
Ini jika konteksnya, tentang dunia para pegawai atau pejabat yang punya otoritas mengeluarkan dokumen perizinan hidup bermewah mewahan,barang barang yang dimiliki nilainya tinggi itu semua kalau dihitung gaji tak sebanding..oknum oknum penerbit dokumen bergelimang dg harta dan kemewahan hasil konspirasinya dikantornya,Oknum pegawai jabatan basah bisa basah seluruh tubuh dengan uang pelicin,ini semua bisa jalan karena hukuman yang masih bisa diperjyal belikan oknum oknum penegak hukum ujar Eka Adi dengan lantang segera terapkan hukum pembuktian terbalik dan miskinkan Koruptor,itu salah satu cara membumi hangusksn korupsi di Negeri ini.
Akibatnya bisa kita tebak. Jika lewat prosedur atau mekanisme dan biaya resmi, masyarakat yang seharusnya bisa mendapatkan hak-hak usahanya yang legal dengan murah dan cepat (efisien dan efektif), misalnya, malah mendapatkan banyak kendala. Bisa berlarut-larut prosesnya.
Sebaliknya, para pengusaha nakal yang cenderung menabrak aturan dan rambu hukum, bisa mendapatkan izin usaha lebih cepat. Kok bisa? Yaa, karena mereka memberi uang sogok menggiurkan pada para instansi dan pejabat yang berwenang mengatur soal perizinan tersebut dan bukan rahasia umum bagi kita semua
Seperti dilangsir media Tempo Windu Aji Sutanto, mantan Relawan Jokowi tahun 2014 dan 2019, pesta pora menambang nikel di Blok Mandiodo, Kabupaten Kanowe Utara, Sulawesi Tenggara (Tempo, edisi Juli 2023).
Dari izin resmi PT Antam yang cuma menambang 22 hektar, Windu menambang nikel di wilayah Blok Mandiodo, Kanowe Utara, seluas lebih dari 200 hektar tanpa IPPKH (Izin Pakai dan Pemanfaatan Kawasan Hutan) yang resmi dirilis PT Antam.
Dia bisa bebas melabrak aturan dan hukum, menambang nikel tanpa dokumen resmi, lantaran melibatkan beberapa pejabat penting yang telah dia suap. Windu mengaku dekat dengan seorang petinggi kepolisian RI, dan juga pejabat penting di Polda Metro Jaya, Inspektur Jenderal Karyoto.
Windu ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, bersama pejabat penting di Kejaksaan Agung, dan beberapa pihak lain. Pesta pora penambangan ilegal nikel itu ditaksir merugikan negara senilai 5,6 triliun rupiah.
Hukum kausalitas sebab akibat ini punya implikasi luas kemana-mana. Prima kausanya mental pragmatis yang melahirkan budaya transaksionalis. Saat ini cipratannya sudah merambah sampai dunia politik. Maka telinga kita pun sekarang jadi akrab dengan istilah “money pilitic” (politik uang), NPWP (nomor piro wani piro) untuk membayar nomor urut CAD, beli suara di KPU biar dapat kursi, dan sebagainya.
Dalam dunia politik, budaya transaksionalis ini jadi subur dan tambah disuburkan oleh para bandar politik (bohir). Mereka paham para calon wakil rakyat umumnya, rata-rata pengidap mental disorder (kelainan mental), alias mudah dikendalikan dengan uang. Dari situ para bohir itu mendanai para caleg. Goalnya, jika mereka jadi aleg, harus siap dikendalikan mereka. Maka undang2 yang dibuat harus sejalan dengan aspirasi para Bohir. Bukan undang-undang yang didasari aspirasi rakyat.
Kiranya bukan mengada-ada, jika kita saat ini sedang menghadapi realitas masyarakat kita yang bermental rusak. Mulai dari tingkat atas hingga tingkat akar rumput. Masyarakat miskin yang terus bertambah jumlahnya menjadi lahan empuk para politisi busuk yang dengan mudah membeli suara-suara rakyat dengan harga murah.
Maka seorang politisi PKS terang-terangan menyebutkan, demokrasi kita tidak pernah naik kelas, bahkan semakin buruk. Demokrasi kita tidak substansial, tapi cuma prosedural.
Orang-orang bermental pragmatis ini digambarkan Al Qur’an sebagai pengidap kronis cinta dunia ekstrim.
*”Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami dan merasa ridho dengan kenikmatan dunianya. Serta merasa tenteram dengan (kehidupan) itu, dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami. Mereka tempatnya itu di neraka, lantaran apa yang telah mereka lakukan…!”*
Tim onewsmedia Kalsel